Satu pertanyaan yang seringkali muncul di kalangan umat Islam adalah, mengapa sering terjadi perbedaan awal Ramadhan, dan jatuhnya Hari Raya, baik Idul Fitri/Idul Adha? Jawaban singkatnya, karena terdapat perbedaan metode dalam penentuan awal bulan.
Selain Departemen Agama—yang kini telah berubah nama menjadi Kementerian Agama—dua ormas terbesar di Indonesia, yakni NU dan Muhammadiyah selalu andil dalam menentukan awal Ramadhan, dan jatuhnya Idda’in (dua hari raya). Namun keduanya memiliki metode yang berbeda dalam penetapan awal Ramadhan dan jatuhnya Idda’in. NU menggunakan metode rukyat . Sedangkan Muhammadiyah lebih cenderung menggunakan metode Hisab Astronomi, meski tidak meninggalkan sepenuhnya metode rukyat .
1. Nadhatul Ulama
Dalam menentukan kepastian awal bulan Qamariyah, khususnya awal Ramadan, awal Syawal, dan awal Dzulhijjah, NU mendasarkan pada rukyat , bukan pada hisab; sesuai dengan nash dan aqwalul ‘ulama’ yang dipegangi, demikian keterangan dalam situs resmi NU. Namun, seiring perjalanan waktu NU yang semula mendasarkan pada rukyat maju menjadi rukyat plus hisab dan seterusnya rukyat berkualitas plus hisab akurat, kemudian ditambah lagi menerima kriteria imkanur rukyat . Jadi NU mendasarkan kepada rukyat berkualitas dengan dukungan hisab yang akurat sekaligus menerima kriteria imkanur rukyat .
NU telah melakukan redefinisi hilal dan rukyat menurut bahasa, Al-Qur’an, As-Sunnah dan menurut sains sebagai landasan dan pijakan kebijakannya dalam penentuan awal Ramadhan, dan jatuhnya hari raya Idul Fitri dan Idul Adha.Menurut Ghazalie Masroeri, Ketua Pengurus Pusat Lajnah Falakiyah Nahdlatul Ulama, hilal dalam bahasa Arab adalah sepatah kata isim yang memilik pengertian, bulan sabit yang tampak pada awal bulan.
Firman Allah yang artinya:
Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung. (Q.S. Al-Baqarah:189)
Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 189 di atas mengemukakan pertanyaan para Shahabat kepada Nabi tentang penciptaan dan hikmah ahillah (jamak dari hilal). Atas perintah Allah SWT kemudian Rasulullah SAW menjawab bahwa ahillah atau hilal itu sebagai kalender bagi ibadah dan aktifitas manusia termasuk haji. Pertanyaan itu muncul karena sebelumnya para sahabat telah melihat penampakan hilal atau dengan kata lain hilal telah tampak terlihat oleh para sahabat.
Para mufasir telah mendefinisikan, bahwa hilal itu mesti tampak terlihat. Ash-Shabuni dalam tafsirnya Shafwatut Tafasir juz I mengemukakan tafsir ayat tersebut sebagai berikut: “Mereka bertanya kepadamu hai Muhammad tentang hilal mengapa ia tampak lembut semisal benang selanjutnya membesar dan terus membulat kemudian menyusut dan melembut sehingga kembali seperti keadaan semula?”
Dalam pada itu Sayyid Quthub dalam tafsirnya Fii Zhilalil Qur’an juz I menafsirkan ayat tersebut sebagai berikut: “Maka mereka bertanya tentang ahillah (hilal) … bagaimana keadaan ahillah (hilal)? Mengapa keadaan qamar (bulan) menampakkan hilal lalu membesar sehingga bulat menjadi purnama selanjutnya berangsur menyusut sehingga kembali menjadi hilal lagi dan kemudian menghilang tidak tampak untuk selanjutnya menampakkan diri menjadi hilal dari (bulan) baru?”
Jadi, berdasarkan ayat tersebut didapat pengertian, hilal atau bulan sabit itu pasti tampak terlihat.
Masalah hilal juga sudah diterangkan dalam hadist Nabi Saw. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Daud dari sahabat Nabi SAW bernama Rib’i bin Hirasy yang mengatakan adanya perbedaan di kalangan para sahabat mengenai akhir Ramadhan kemudian ada laporan hasil rukyat ; perukyat melaporkan dengan ungkapan:
“Demi Allah sungguh telah tampak hilal kemarin sore.”
Hadits tersebut menyatakan bahwa hilal itu pasti tampak terlihat. Demikian pula dalam hadits-hadits yang lain.
Sementara itu hilal atau bulan sabit dalam istilah astronomi disebut crescent, yakni bagian dari bulan yang menampakkan cahayanya terlihat dari bumi ketika sesaat setelah matahari terbenam pada hari telah terjadinya ijtima’ atau konjungsi.
Dari tinjauan bahasa, Al-Qur’an, As-Sunnah dan tinjauan sains sebagaimana diutarakan di atas, Ghazalie Masroeri menyimpulkan bahwa hilal (bulan sabit) itu pasti tampak cahayanya terlihat dari bumi di awal bulan, bukan sekedar pemikiran atau dugaan adanya hilal. Oleh karena itu kalau tidak tampak tidak disebut hilal.
Sehubungan dengan kriteria hilal itu mesti tampak, maka Rasulullah SAW menyuruh kaum muslimin melakukan rukyat, yakni dengan melihat, mengamati secara langsung (observasi) terhadap hilal itu.
Lebih jauh, alasan NU dalam penggunaan metode rukyat adalah bahwa dalam memahami, menghayati, dan mengamalkan ad-dinul Islam, harus mendasarkan pada asas ta’abbudiy (ketaatan). Untuk mewujudkan kesempurnaan ta’abbudiy tersebut perlu didukung dengan menggunakan asas ta’aqquliy (penalaran). Dalam konteks ini, asas ta’abbudiy dilaksanakan dengan mengamalkan perintah rukyatul hilal.
Dalam buku Antologi NU diterangkan, kebijakan ulama salaf (jumhur ulama) berpendapat bahwa penetapan (isbat) awal Ramadhan dan Syawal hanya boleh dengan cara rukyat. Jika rukyat tidak bisa berhasil karena terhalang oleh mendung misalnya, maka digunakan cara istikmal, yakni menyempurnakan hitungan menjadi 30 hari. Jadi, dalam konteks ini istikmal bukanlah metode tersendiri, tetapi metode lanjutan ketika rukyat tidak efektif. Prosedur tersebut sebagaimana hadis Rasulullah Saw:
Berpuasalah kalian karena melihat bulan, dan berbukalah (tidak berpuasa lagi) karena melihatnya. Apabila kalian tidak melihatnya karena mendung, sempurnakanlah hitungan bulan Sya’ban sampai tiga puluh hari (HR. Bukhari dan Muslim).
Pendapat NU berkaitan dengan masalah yang sedang kita bicarakan ini, merupakan metode penetapan puasa dan Idul Fitri yang diikuti oleh semua Imam Madzhab yang empat (Hanafi, Maliki, Hambali dan Syafi’i). Hanya saja kalangan Imam Syafi’i masih mengakomodasikan metode hisab dan memperbolehkannya sebagai dasar bagi para ahli hisab itu sendiri dan mereka mempercayai kebenarannya.
Rais Amm PBNU Sahal Mahfudh pernah berpendapat bahwa kedudukan hisab merupakan metode pendamping. Yakni sekadar digunakan untuk memperkirakan (secara teoritik) apakah rukyat dapat dilakukan atau tidak.
Dipakainya metode hisab dalam NU hanya sebagai hisab penyerasian NU dengan pendekatan rukyat yang diputuskan dalam musyawarah ‘ulama’ ahli hisab, ahli astronomi, dan ahli rukyat . NU beranggapan bahwa hisab penyerasian NU mempunyai tingkat akurasi yang sangat tinggi, lebih dari 90% sesuai dengan hasil rukyatul hilal bil fi’li. Kemudian Kementerian Agama pun membuat semacam sistem penyerasian untuk mengatasi perbedaan yang terdapat dalam berbagai metode hisab.
Adapun tahap-tahap penentuan awal bulan Qamariah, khususnya awal bulan Ramadlan, awal bulan Syawal, dan awal bulan Dzulhijjah, perspektif NU, sebagaimana ditulis KH. A. Ghazalie Masroeri adalah melalui empat tahap, yaitu:
1. Tahap pembuatan hitungan hisab
2. Penyelenggaraan rukyatul hilal
3. Berpartisipasi dalam sidang itsbat
4. Ikhbar
Ilmu falak telah berkembang di kalangan NU sejak abad 19. Lembaga-lembaga pendidikan NU, seperti pesantren dan madrasah memberikan pendidikan ilmu falak/hisab. Dari pendidikan itu lahirlah ulama-ulama ahli falak/hisab NU tersebar di seluruh Indonesia.
Lajnah Falakiyah Nahdlatul Ulama (LFNU) didirikan dari tingkat pusat sampai daerah sebagai wadah berhimpunnya ahli hisab, astronom, dan ahli rukyat; penyelenggarakan diklat hisab dan rukyat juga digelar dari tingkat dasar sampai tingkat mahir yang bertujuan untuk menangani masalah-masalah kefalakiyahan dan pemanfaatannya.
Setiap menjelang awal tahun Hijriyah, LFNU menyelenggarakan musyawarah ahli hisab, astronom, dan ahli rukyat untuk merumuskan hitungan hisab kalender tahun-tahun berikutnya. Hisab jama’iy/kolektif/penyerasian, diumumkan melalui almanak setiap tahun dan digunakan untuk penyelenggaraan rukyatul hilal.
Sesungguhnya rukyat/observasi terhadap benda-benda langit khususnya bulan dan matahari telah dilakukan ribuan tahun sebelum masehi. Rukyat demi rukyat, observasi demi observasi dilakukan kemudian dicatat dan dirumuskan, lahirlah ilmu hisab/ilmu astronomi.
Rukyat/observasi, demikian KH A Ghazalie Masroeri, adalah ibu yang melahirkan ilmu hisab dan astronomi. Tanpa rukyat/observasi tak akan ada ilmu hisab dan astronomi.
Rukyat yang diterima di Indonesia ialah rukyat Nasional, yakni rukyat yang diselenggarakan di dalam negeri dan berlaku satu wilayah hukum. Perbedaan hasil rukyat di Indonesia dengan Negara lain seperti Saudi Arabia tidaklah menjadi masalah.
Dengan panduan dan dukungan ilmu hisab, maka rukyat diselenggarakan di titik-titik strategis yang telah ditetapkan (sekitar 55 tempat) di seluruh Indonesia di bawah koordinasi LFNU di pusat dan di daerah. Pelaksana rukyat terdiri dari para ulama’ ahli fiqh, ahli rukyat, ahli hisab, dan bekerja sama dengan ormas Islam dan instansi terkait.
Rukyat diselenggarakan dengan menggunakan alat sesuai dengan kemajuan teknologi dan yang tidak bertentangan dengan syar’i. Jadi, bukan dengan mata telanjang, melainkan sudah dibantu dengan alat yang canggih.
Setelah rukyat dilakukan, kemudian hasilnya dilaporkan kepada PBNU. Dari laporan-laporan itu sesungguhnya NU sudah dapat mengambil keputusan tentang penentuan awal bulan, tetapi tidak segera diumumkan melainkan dilaporkan lebih dulu ke sidang itsbat, dengan tujuan agar keputusan itu berlaku bagi umat Islam di seluruh Indonesia.
Hal tersebut mengikuti apa yang sudah dilakukan para Sahabat Nabi. Ketika para Sahabat berhasil melihat hilal, tidak serta-merta mereka menetapkannya dan mengumumkan kepada masyarakat mendahului penetapan Rasulullah SAW.
Hasil rukyat dilaporkan kepada Rasulullah SAW. Selanjutnya beliau sebagai Rasul Allah maupun sebagai kepala negara menetapkannya. Sebagaimana tersebut dalam hadits:
“Dari Abdullah bin Umar ia berkata: orang-orang berusaha melihat hilal (melakukan rukyatulhilal) lalu saya memberitahu kepada Rasulullah SAW bahwa sesungguhnya saya telah melihat hilal, maka beliau berpuasa dan memerintahkan orang-orang agar supaya berpuasa”. (HR Abu Dawud, Daruquthni, dan Ibnu Hibban)
Setelah setelah dikeluarkan itsbat, maka NU mengeluarkan ikhbar (pemberitahuan) tentang sikap NU mengenai penentuan awal bulan Ramadhan, awal bulan Syawal, dan awal bulan Dzulhijjah atas dasar rukyatul hilal yang didukung dengan hisab yang akurat sesuai dengan kriteria imkanur rukyat.
Ikhbar ini adalah hak PBNU untuk menetapkan hasil rukyat yang dikeluarkan setelah itsbat, dan merupakan bimbingan terhadap warga NU, yang secara jam’iyyah (kelembagaan) harus dilaksanakan.
Sementara itu, dalam masalah matla' (pemberlakuan wilayah rukyat), apakah rukyat berlaku untuk rukyat lokal, nasional, ataukah internasional. NU menetapkan rukyat nasional wilayatul hukmi Indonesia. Hasil rukyat hilal di suatu tempat hanya berlaku bagi suatu negara kekuasaan hakim (pemerintah) yang menetapkan (itsbat) hasil rukyat tersebut.
Matla' berlaku hanya untuk wilayah hukum suatu negara tertentu dan tidak berlaku bagi negara lain. Artinya, rukyat hilal berlaku untuk seluruh kawasan Nusantara berlandaskan satu kesatuan hukum negara sehingga kesepakatan dan keputusan pemerintah tentang awal Hijriyah khususnya awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah berlaku untuk seluruh negara kesatuan RI. NU menolak adanya rukyat internasional yang berkiblat pada hasil rukyat Arab Saudi.
2. Muhammadiyah
Jika NU lebih mengutamakan penggunaan rukyat dari pada hisab, maka Muhammadiyah cenderung menggunakan hisab, meskipun tidak melupakan metode rukyat. Munir Mulkhan menulis, bahwa Muhammadiyah tetap menggunakan metode rukyat. Namun demikian berdasarkan perkembangan iptek dan pola kehidpan masyarakat maka pelaksanaan ru’yat dilakukan dengan menggunakan hisab.
Dalam Muktamar Muhammadiyah di Makassar tanggal 1–7 Mei 1932, salah satu butir keputusannya: “As-Shaumu wal fithru bir ru’yati wala mani’a bil hisab” (”Berpuasa dan berbuka [berhari raya] dengan rukyat dan tidak ada halangan dengan hisab”). Sementara itu dalam Muktamar Tarjih XXVI di Padang tahun 2003 tentang Hisab dan Rukyat diambil kesimoulan bahwa:
a). Hisab mempunyai fungsi dan kedudukan yang sama dengan rukyat sebagai pedoman penetapan awal bulan Ramadan, Syawal dan Zulhijah.
b). Hisab sebagaimana tersebut pada poin satu yang digunakan oleh Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Pusat Muhammadiyah ialah Hisab Hakiki dengan kriteria wujudul hilal.
c). Matlak yang digunakan adalah matlak yang didasarkan pada wilayatul hukmi (Indonesia).
d). Apabila garis batas wujudul hilal pada awal bulan Qamariyah tersebut membelah wilayah Indonesia maka kewenangan menetapkan awal bulan tersebut diserahkan kepada Kebijakan Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Selain hal tersebut di atas Tarjih dalam HPT menjelaskan sebagaimanana uraian berikut:
Berpuasa dan ‘Ied Fitrah itu dengan rukyat dan tidak berhalangan dengan hisab. Dalil-dalil yang digunakan sebagai dasar adalah sebagai berikut:
Firman Allah, artinya:
Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui. (Q.S. Yunus: 5)
Juga Firman Allah yang artinya:
"Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya" (Q.S. Yaasiin : 40).
Diperkuat dengan surat Ar-Rahman yang artinya:
"Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan" (Q.S. Ar-Rahmaan: 5).
Hadis Nabi Muhammad Saw:
Berpuasalah karena melihat tanggal dan berbukalah karena melihatnya. Maka bilamana tidak terlihat olehmu, maka sempurnakanlah bilangan sya’ban tiga puluh hari. (HR. Bukhari).
Juga hadis lain yang artinya:
"Dari Kuraib (diriwayatkan bahwa) sesunggguhnya Ummu Fadhl binti al-Harits mengutusnya menemui Mu'awiyah di negeri Syam. Ia berkata: Saya tiba di negeri Syam dan melaksanakan keinginannya. Dan masuklah bulan Ramadhan sementara saya berada di negeri Syam. Saya melihat hilal pada malam hari Jum'at, selanjutnya saya kembali ke Madinah pada akhir bulan Ramadaan. Lalu Abdullah bin Abbas r.a. bertanya kepada saya dan menyebut tentang hilal. Ia bertanya: Kapan kalian melihat hilal? Saya menjawab : Kami melihat hilal pada malam hari Jum'at. Ia bertanya lagi: Apakah kamu sendiri yang melihatnya ? maka Jawab Kuraib, benar, dan orang yang lain juga melihatnya. Karenanya Mu'awiyah dan orang-orang disana berpuasa. Lalu Abdullah ibn Abbas berkata: Tetapi kami melihat hilal pada malam hari Sabtu, karenanya kami akan terus berpuasa hingga 30 hari (istikmal) atau kami melihat hilal sendiri. Saya (Kuraib) bertanya: Apakah kamu (Abdullah bin Abbas) tidak cukup mengikuti rukyatnya Mu'awiyah (di Syam) dan puasanya. Abdullah bin Abbas menjawab: Tidak, demikianlah yang Rasulullah saw. perintahkan kepada kami" (H.R. Muslim).
Selanjutnya, Tarjih Muhammadiyah menyatakan apabila Ahli Hisab menetapkan bahwa bulan tampak (tanggal) atau sudah wujud tetapi tidak kelihatan, padahal kenyataannya ada orang yang melihat pada mu’tabar, maka Majlis Tarjih memutuskan bahwa rukyatlah yang mu’tabar.
Hal ini di dasarkan hadis yang artinya: “Menukil hadis dari Abu Hurairah r.a. yang berkata bahwa Rasulullah bersabda: “Berpuasalah karena kamu melihat tanggal dan berbukalah (berlebaranlah) karena kamu melihat tanggal, bila kamu tertutup oleh mendung, maka sempunakanlah bilangan bulan Sya’ban 30 hari (HR. Bukhari dan Muslim)
Ismail Thaib, dalam Majalah Suara Muhammadiyah pernah menulis bahwa Putusan Muktamar Muhammadiyah di Makassar sebagaimana disebutkan di muka, yakni “As-Shaumu wal fithru bir ru’yati wala mani’a bil hisab” (”Berpuasa dan berbuka [berhari raya] dengan rukyat dan tidak ada halangan dengan hisab”) merupakan putusan yang bijaksana. Namun demikian, tidak dipungkiri bahwa selama ini Muhammadiyah cenderung mengedepankan metode hisab dari pada rukyat.
Ismail secara rinci mencoba menjelaskan kembali masalah hisab sebagai metode yang digunakan oleh Muhammadiyah dalam penentuan awal Ramadhan, dan jatuhnya Idul Fitri dan Idul Adha, secara lebih mendalam dilihat dari sudut pandang syariat Islam. Menurutnya, perintah Nabi Saw dalam sabdanya yang artinya: “Berpuasalah kamu karena melihat bulan dan berbukalah (berhari raya) kamu karena melihat bulan..” mesti ditafsirkan tidak sempit. Bahwa perintah Nabi itu dan Hadits-hadits lain yang semakna dengan itu masih bersifat lepas (mutlak) belum dikaitkan dengan illat. Oleh karenanya, demikian Ismail, apabila ada nash (Hadits) lain yang memautkan perintah itu dengan suatu illat, maka ketika itu persoalannya menjadi lain, menjadi berbeda dan illat itu ada pengaruhnya dalam pemahaman Hadits tersebut dan hukum berjalan sesuai dengan illat itu dalam penjabaran (tathbiq) atau operasionalnya.
Penggunaan metode hisab oleh Muhammadiyah didasarkan pada alasan, salah satunya adalah Hadits Nabi sebagaimana tersebut di atas, bukanlah satu satunya hadits dalam masalah hilal, tetapi masih ada lagi hadits lain yang lebih jelas menjelaskan illat-nya, yaitu hadits riwayat Muslim dan lain-lainnya, di mana Nabi bersabda yang artinya:
“Sesungguhnya kita ummat yang ummi (buta aksara) tidak bisa menulis dan tidak bisa menghitung (hisab), bulan itu begini dan begini”
Hadits di atas menurut Ismail, dianggap pokok dalam masalah hisab, karena seakan-akan Rasulullah mengatakan bahwa berpegang kepada rukyat lantaran kebanyakan umat Islam di masa beliau buta aksara, belum mengenal ilmu hisab.
Di dalam sebuah buku tentang Pedoman Hisab Muhammadiyah, disebutkan bahwa dalam konteks ke-Indonesiaan penggunaan hisab lebih memungkinkan dan lebih praktis karena dapat menentukan tanggal jauh sebelumnya dan dapat menentukan masa depan secara lebih pasti, sehingga persiapan-persiapan dapat dilakukan secara lebih tepat perhitungan dan jauh sebelumnya. Perhatian dan orientasi ke depan adalah salah satu prinsip ajaran Islam dan sekaligus cermin sikap modern. Selain itu penggunaan hisab ini juga mencerminkan kepercayaan Muhammadiyah kepada ilmu pengetahuan, yang juga merupakan prinsip ajaran Islam dan sekaligus ciri kemodernan.
Sementara itu, bila garis batas wujudul hilal membelah dua wilayah kesatuan Republik Indonesia yang "besarnya hampir sama", maka Pimpinan Pusat Muhammadiyah akan menggunakan kriteria wujudul hilal nasional dalam menentukan awal bulan Qamariah, khususnya awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijah. Kriteria wujudul hilal nasional merupakan teori di mana awal bulan Qamariah dimulai apabila setelah terjadi ijtimak (conjunction) matahari tenggelam terlebih dahulu dibandingkan bulan (moonset after sunset); pada saat itu posisi bulan di atas ufuk di seluruh wilayah Indonesia. Artinya pada saat matahari terbenam (sunset) secara filosofis hilal sudah ada di seluruh wilayah Indonesia.
Namun jika garis batas wujudul hilal membelah dua wilayah kesatuan Republik Indonesia dan sebagian besar sudah wujud maka diberlakukan konsep matla’ sebagaimana yang tertuang dalam putusan Munas Tarjih di Makassar.
Referensi:
Referensi:
1. KH Muhyidin Abdusshomad, Hujjah NU Akidah-Amaliah-Tradisi, Khalista Surabaya: 2008
2. PP Rabithah Ma’hadil Islamiyah, Masalah Kegamaan: Hasil Muktamar dan Munas Ulama Nahdhatul Ulama, Dinamika Press, Surabaya: 1977.
3. H. Soelleiman Fadeli dan Muhammad Subhan, S.Sos, Antologi NU, sejarah Istilah Amaliah, Uswah, Khalista, Surabaya: 2007
4. Abdul Munir Mulkhan, Masalah-Masalah Teologi dan Fiqh dalam Tarjih Muhammadiyah, Roykhan, Yogyakarta: 2005
5. PP. Muhammadiyah, Himpunan Putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah, Persatuan, Yogyakarta, 1974.
6. Majalah Suara Muhammadiyah
7. Majalah Aula
8. Berbagai sumber di internet di antaranya:
a. www.nu.or.id
0 komentar:
Posting Komentar