الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ
يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ.
يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ
Jamaah Jum’ah Rahimakumullah…Pada kesempatan yang mulia ini marilah kita senantiasa untuk selalu memperbesar rasa syukur kita kepada Allah atas nikmat-nikmat yang tidak pernah bisa kita hitung. Bersyukur, bukan hanya sebatas hati dan lisan, tetapi juga melalui perbuatan-perbuatan kita sehari-hari.
Tak lupa, saya mengajak, khususnya kepada diri saya pribadi, juga kepada jama’ah sekalian, marilah kita pertebal lagi keimanan kita, dan meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah dengan senantiasa berupaya menjalankan penuh ikhlas perintah-perintah Allah, menjauhi larangan-laranganNya, dan tidak meremehkan sunnah-sunnah yang telah diajarkan oleh Rasulullah Saw.
Jama’ah Jum’ah rahimakumullah.
Kita beruntung, karena diberi masih diberi kesempatan untuk berjumpa dengan bulan Ramadhan. Bulan yang bukan saja dikenal sebagai bulan penuh berkah (syahrul barakah), bulan ampunan (syahru maghfirah), tetapi juga merupakan bulan pendidikan (syahru tarbiyah). Nikmat sempat dan sehat yang telah dianugrahkan Allah kepada kita itu, semestinya benar-benar kita manfaatkan, yaitu dengan mengisi detik-detik di bulan suci ini dengan amal baik. Dengan begitu, apa yang menjadi tujuan puasa Ramadhan, yaitu menjadi orang yang bertaqwa dapat kita raih.
Barangkali penting untuk kita ketahui bersama bahwa puasa seorang muslim yang satu dan yang lain itu memiliki tingkatan yang berbeda. Adakalanya seseorang yang berpuasa baru masuk ke tingkat puasanya orang awwam (biasa), ada pula yang sudah sampai di tingkatan puasa orang khusus (khawas), dan yang paling tinggi adalah tingkatan puasa yang sangat khusus (khawasul khawash).
Puasa orang biasa ialah puasa dengan menahan diri dari makan, minum, dan hubungan biologis suami-istri dalam jangka waktu tertentu. Puasa orang awam atau muslim kebanyakan ini, ukurannya adalah fiqih. Jika syarat dan rukunnya telah ditepati, puasa itu sah. Tentu saja Puasa model begini tentu saja tetap sah dan tidak salah, sesuai dengan standar fiqih yang diukur dengan kapasitas orang awam.
Sementara itu, puasa orang khusus ialah puasa yang tidak sekadar menahan lapar dan haus, tetapi juga bisa menjaga telinga, mata, lidah, tangan serta kaki dan anggota badan lainnya dari perbuatan maksiat. Ciri-ciri orang yang berpuasa dan menduduki peringkat kedua ini, yakni mereka selalu mempertimbangkan faktor akhlaq dan perilaku sehari-hari.
Sedangkan tingkatan puasa sangat khusus ialah puasa hati, menjaga hati dari lalai mengingat Allah SWT. Puasa khawasul khawas adalah puasanya orang-orang shalih, para auliya, dan para nabi, yang mana tidak cukup hanya dengan memenuhi ketentuan fiqih. Pada tingkatan puasa peringkat ketiga seorang muslim senantiasa menjaga keistiqamahan atau konsistensi dalam mengontrol hati dan pikiran untuk selalu dzikrullah Allah. Para pelaku puasa khawasul khawas biasanya akan merasa berdosa jika hari-harinya hanya terisi hal-hal yang mubah. Mereka juga merasa bersalah jika membuang energi selama berpuasa hanya untuk memikirkan hal-hal yang bersifat duniawi.
Menurut Imam AI-Ghazali, sebagaimana terungkap dalam kitab Ihya 'Ulumiddin, orang yang berpuasa khusus harus memenuhi enam syarat.
Pertama, ia tidak melihat segala yang dibenci Allah SWT atau yang dapat membimbangkan dan melalaikan hati dari mengingat Allah SWT. Sabda Rasulullah SAW (yang artinya), "Pandangan adalah salah satu panah beracun milik setan yang terkutuk. Barang siapa menjaga pandangannya karena takut kepada-Nya semata, niscaya Allah SWT akan memberinya keimanan yang manis yang diperolehnya dari dalam hati." (HR Al-Hakim).
Syarat kedua yaitu menjaga lisan dari perkataan siasia, seperti dusta, mengumpat, memfitnah, berkata keji dan kasar, serta mengatakan sesuatu yang mengandung permusuhan. Semua itu seyogianya diganti dengan lebih banyak berdiam diri, memperbanyak dzikir, dan membaca AI-Quran.
Rasulullah SAW bahkan pernah menyatakan, puasa merupakan perisai. "Maka barangsiapa sedang berpuasa, jangan berkata keji. Jika ada orang yang menyerang atau memakimu, katakanlah: Aku sedang berpuasa, aku sedang berpuasa." (HR Bukhari-Muslim)
Syarat ketiga adalah menjaga pendengaran dari segala sesuatu yang tercela. Sebab, segala sesuatu yang dilarang diucapkan juga dilarang didingarkan. Maka, dari itu, mereka yang ingin puasanya bernilai khusus, sebaiknya berdiam diri dan menjauhkan diri dari omongan yang sia-sia.
Syarat keempat yakni menjaga kesucian semua anggota tubuh dari yang syubhat (diragukan halalnya), apalagi yang haram. Perut, misalnya, harus dijaga dari makanan yang syubhat. Puasa jadi tidak berarti sama sekali jika dilakukan dengan menahan diri dari makan makanan halal tapi berbuka dengan makanan haram.
Syarat kelima, menghindari makan secara berlebihan. Dalam kamus kaum sufi, tidak ada wadah yang lebih dibenci Allah SWT selain perut yang dijejali makanan halal. Di antara manfaat puasa ialah mengalahkan setan dan mengendalikan hawa nafsu. Bagaimana mungkin bisa mengalahkan setan jika ketika berbuka puasa menjejali perut secara berlebihan?
Hakikat puasa ialah memperlemah tenaga yang dipergunakan setan untuk mengajak manusia melakukan kejahatan. Karena itu, meskipun makan di malam-malam bulan Ramadhan itu halal, kaum sufi atau kaum khawash lebih mengutamakan mengurangi porsi makan malam di bulan Ramadhan. Bahkan mereka juga mengurangi tidur di siang hari, dengan harapan dapat merasakan semakin melemahnya kekuatan jasmani, yang akan mengantarkannya pada penyucian jiwa.
Syarat yang terakhir, sebagaimana disebutkan Imam Ghazali ialah, berusaha mendekati Allah SWT dengan rasa takut, penuh pengharapan. Setelah berbuka puasa, seyogianya hati "terayun-ayun" antara khauf (takut) dan raja' (harap). Sebab, tak seorang pun yang mengetahui, apakah puasanya diterima atau tidak. Bahkan pemikiran seperti itu tidak hanya berlaku untuk ibadah puasa, seharusnya juga berlaku setiap kali selesai menunaikan suatu ibadah yang kita kerjakan.
Jama’ah Jum’ah Rahimakumullah...
Rasulullah pernah bersabda, yang artinya: "Betapa banyak orang berpuasa yang tidak mendapatkan sesuatu kecuali lapar dan dahaga." (HR an-Nasa'i dan Ibnu Majah).
Oleh karena itu, marilah kita introspeksi diri tentang puasa yang kita jalani agar puasa kita mendapatkan pahala, bukan lapar haus semata. Dan marilah bersama-sama kita berupaya agar puasa kita tidak hanya sampai pada tingkatan puasa orang awwam dengan selalu berhati-hati menjaga hati, lisan, dan perbuatan.
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِر انه هو ا لغفررحىم
0 komentar:
Posting Komentar